REVIEW MATERI MATKUL SEJARAH PEDESAAN PERTEMUAN KE-11

 

Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional yaitu merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis, besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh: 1) sejauh mana ketergantungan terhadap alam, 2) tingkat teknologi yang dimiliki, dan 3) sistem produksi yang diterapkan. Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan tradisional, yaitu 1) adaptasinya pasif, 2) rendahnya tingkat invasi, 3) tebalnya rasa kolektivitas, 4) kebiasaan hidup yang lamban, 5) kepercayaan kepada tahayul, 6) kebutuhan materiil yang bersahaja, 7) rendahnya kesadaran terhadap waktu, 8) cenderung bersifat praktis, dan 9) standar moral yang kaku.

Persyaratan bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri diatas, melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar desa (supra desa) seperti struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Berbagai kerajaan yang tersebar di Nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Pada daerah yang tidak mempunyai kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan kata lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.

Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai tradisi sinkronis dan diakronis. Dalam tradisi sinkronis, tradisi bersifat situasional artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara yang tradisional dengan yang modern tidak bertentangan. Sedangkan dalam pengertian tradisi diakronis, antara yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan. Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat. Hukum adat disini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada diberbagai daerah di Indonesia yang tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan pemerintahan kolonial. Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu desa-desa diluar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa diluar Jawa didasarkan atas hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis). Pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan daerah maka hukum adatnya kurang memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah. Untuk desa-desa di Jawa pada umumnya, khususnya di daerah pedalaman, melemahnya tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa geografis, melainkan untuk intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan luar desa (supra desa). Kekuatan supra desa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.

Keberadaan lembaga merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat sehingga ketika ada kebutuhan baru maka terdapat pula tuntutan atas munculnya lembaga baru. Dengan demikian lembaga-lembaga lama mengalami pergeseran dan perubahan. Sebagai contoh yaitu lembaga gotong royong (sambatan) yang lebih mengandalkan barter tenaga telah bergeser ke sistem upah. Sistem sakap atau bagi hasil semakin tergeser oleh sistem persewaan. Gotong royong yang dilandasi oleh partisipasi berubah menjadi kerja bakti yang lebih dilandasi oleh mobilisasi. Lembaga sosial dan lembaga pemerintahan desa adalah lembaga sebagai sistem atau kompleks nilai dan norma (tata kelakuan) yang berpusat di sekitar kepentingan atau tujuan tertentu. Terdapat lima karakteristik lembaga sosial yang meliputi 1) tujuan utama, 2) nilai-nilai pokok, 3) sifat permanen, 4) sifat keterkaitannya, dan 5) penerimaan atas ide-ide. Lembaga pemerintahan desa lama keberadaannya semakin terdesak dan tergantikan oleh lembaga pemerintahan desa baru. Keberadaan beberapa lembaga baru ini memang sesuai dengan tuntutan perkembangan, namun untuk lembaga-lembaga baru lainnya belum tentu sesuai. Lembaga-lembaga baru di desa saat ini sebenarnya tidak seluruhnya telah dapat disebut lembaga dalam arti yang sebenarnya., melainkan merupakan badan-badan, organisasi-organisasi, atau kegiatan yang bersifat sementara yang keberadaannya berkaitan dengan pelaksanaan suatu program pembangunan tertentu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Jurnal: Sejarah Perkembangan Islam di Brunai Darussalam

RESENSI BUKU REFORMA AGRARIA: Landreform dan Redistribusi Tanah di Indonesia

REVIEW MATERI MATA KULIAH SEJARA PEDESAAN PERTEMUAN KE-9